cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
JURNAL BIOMEDIK
ISSN : 20859481     EISSN : 2597999X     DOI : -
Core Subject : Health, Science,
JURNAL BIOMEDIK adalah JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN yang diterbitkan tiga kali setahun pada bulan Maret, Juli, November. Tulisan yang dimuat dapat berupa artikel telaah (review article), hasil penelitian, dan laporan kasus dalam bidang ilmu kedokteran..
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM" : 8 Documents clear
KEAMANAN PENGGUNAAN ANESTESI REGIONAL PADA PERSALINAN PENGIDAP HIV Kumaat, Lucky
Jurnal Biomedik : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.849

Abstract

Abstract: Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection and Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) are the major problems of global health. It is estimated that approximately 75.9% of Human Immunodeficiency Virus (HIV)-infected women aged are in productive ages (20-39 years) with possibilities to become pregnant. Since the prevalence of Human Immunodeficiency Virus infection in pregnant women is increasing, anesthesiologists are increasingly confronting these diseases in their patients. HIV infection in pregnant women often raises questions about the safety of regional anesthesia for them. Fears of the spread of infection to the Central Nervous System (CNS) or the sequel of the neurological system have led some clinicians not to use regional anesthesia. Some research shows that pregnant women with HIV infection are not a contraindication for regional anesthesia since there is no CNS and neurological sequel or infection after a long enough time post operation. Keywords: HIV infection, AIDS, parturition, regional anaesthesia.  Abstrak: Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah utama dari kesehatan global. Diperkirakan sekitar 75,9% wanita yang terinfeksi HIV berada pada usia produktif (20-39 tahun) yang berpeluang untuk hamil. Karena prevalensi infeksi HIV pada wanita hamil semakin meningkat, maka ahli anestesi semakin banyak diperhadapi dengan pasien demikian. Infeksi HIV pada wanita hamil seringkali memunculkan pertanyaan mengenai keamanan penggunaan anestesi regional pada mereka. Kekuatiran terhadap penyebaran infeksi ke sistim susunan saraf pusat (SSP) atau sekuel neurologik menyebabkan sebagian klinisi menentang penggunaan anestesi regional. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa wanita hamil dengan HIV bukan merupakan kontraindikasi bagi penggunaan anestesi regional karena tidak dijumpai adanya infeksi SSP atau sekuel neurologik setelah selang waktu yang cukup panjang pasca operasi. Kata kunci: Infeksi HIV, AIDS, persalinan, anestesi regional.
PERAN RESEPTOR MELANOKORTIN 1 PADA MELANOGENESIS Pratama, Gunawan; Wangko, Sunny; Jacobs, Jemima N.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.845

Abstract

Abstrak: Dewasa ini fenotip warna kulit secara alami maupun dengan perlakuan banyak menjadi perhatian terutama dalam aspek sosial dan kosmetik. Seiring dengan itu, berbagai penelitian dan pengembangan biomolekuler yang bertujuan mengendalikan melanogenesis telah berkembang pesat. Pada tingkat molekul, proses kompleks biosintesis polimer melanin di dalam melanosit ditentukan oleh reseptor melanokortin 1 (MC1R). Struktur proteinnya yang dikode oleh faktor genetik seseorang dapat mempengaruhi afinitas reseptor terhadap agonis atau ligan. Selanjutnya jalur lintas sinyal transduksi bergantung siklik adenosin mono-fosfat (cAMP) intrasel yang dicetuskannya akan menentukan tipe dan warna kulit. Faktor-faktor transkripsi pada lintasan sinyal cAMP berupa molekul-molekul protein akan menen-tukan sintesis enzim yang memainkan peran kunci pada arah pembentukan biopolimer mela-nin di dalam retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan melanosom. Feomelanogenesis dengan hasil akhir polimer melanin yang berwarna kuning kemerahan adalah jalur pasti hilangnya sinyal reseptor melanokortin 1. Pemahaman pada lintasan sinyal reseptor melano-kortin 1 setidaknya dapat memberi informasi pada kelainan pigmentasi dalam terapan ilmu kedokteran klinik medik. Kata kunci: MC1R, cAMP, sinyal transduksi.     Abstract: Nowadays, natural or modified phenotype skin colors get more attention especially in social and cosmetic aspects. In fact, advanced biomolecular sciences have revealed a better understanding about controlling melanogenesis. In this molecular level, the complexity of melanin biopolymers produced in melanocytes is driven by melanocortin 1 receptors (MC1R). Coded by its genetic structure, this protein may affect receptors’ affinity to their agonists or ligands. Then the intracellular cAMP dependent signal transduction will determine consequently the hair and skin colors. Transcription factors in the cAMP signal line in protein molecule forms are involved in determining enzyme synthesis which plays the main role in directing the biopolymer melanin’s end products in endoplasmic reticulum, Golgi apparatus, and melanosome. Pheomelanogenesis is the consequense of melanocortin 1 receptors signal loss; its end product appears in yellow-red color melanin polymers. Understanding MC1R’s signal transduction gives additional information about pigmentation abnormality in medical practice. Key words: MC1R, cAMP, transduction signal.
STATUS KEBERSIHAN MULUT DAN KARIES GIGI PADA ORANG CACAT DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA WIRAJAYA MAKASSAR Juliatri, Juliatri
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.850

Abstract

Abstract: Oral hygiene status is affected by several factors. One of these is the maintenance of healthy teeth and mouth, e.g. by brushing. People with physical disabilities are frequently limited in carrying out normal activities, as cleaning ones teeth and mouth, the result of which influences the occurrence of caries. The study was conducted on 104 people with physical disabilities in Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar. Results: The assessment of oral hygiene by using the OHI-S index according to Green and Vermillion showed that the status of OHI-S was good in 18 people (17.29%), moderate in 58 people (55.7%), and bad in 28 people (26.9%). Percentages of OHI-S status (good, average, and bad) having the disabilitiy of one leg were 10.57%, 28.84%, and 15.38%, respectively. The lowest mean of DMF-T status (low category) was found in those with disabilities in both legs  was 2.58, and the highest one (but still in the middle category) with hand and foot disabilities was 4.2. However, males were more likely to have a poor OHI-S (25 males/24.02%) but more females had both categories of OHI-S (15 females/14. 44%). Although more females had a good OHI-S status, it was more common in females than males to have a very high caries status. Keywords: oral hygiene, DMF-T index, physical disability.     Abstrak: Status kebersihan mulut seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu di antaranya adalah upaya pemeliharaan  kesehatan gigi dan mulut misalnya dengan menyikat gigi. Pada orang dengan cacat fisik mempunyai keterbatasan melakukan sesuatu secara normal termasuk dalam melakukan prosedur untuk membersihkan gigi dan mulutnya yang lebih lanjut juga akan mempengaruhi terjadinya karies. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis ingin mengetahui status kebersihan mulut dan karies gigi pada penyandang cacat fisik. Penelitian dilakukan pada 104 penyandang cacat fisik  di Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar. Hasil penelitian: Hasil penilaian kebersihan mulut dengan menggunakan indeks OHI-S menurut Green and Vermillion menunjukkan 18 orang (17,29%) dengan status OHI-S baik, 58 orang (55,7%) status OHI-S sedang, dan 28 orang (26,9%) dengan status OHI-S buruk. Persentase status OHI-S baik, sedang dan buruk paling banyak ditemukan pada penyandang cacat kaki satu yaitu masing-masing sebesar 10,57%, 28,84 %, dan 15,38%. Untuk status  DMF-T rata-rata paling rendah (kategori rendah) terdapat pada penyandang cacat kedua kaki (2,58) dan paling tinggi (tetapi masih dalam kategori sedang) pada penyandang cacat tangan dan kaki (4,2). Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak yang memiliki OHI-S buruk (25 orang/24,02%) sedangkan perempuan lebih banyak yang memiliki OHI-S dalam kategori baik (15 orang/14,44%). Walaupun demikian, status karies sangat tinggi lebih banyak ditemukan pada perempuan dibanding laki-laki. Kata kunci: kebersihan mulut, indeks DFM-T, kecacatan
TERAPI GIZI MEDIS PADA DIABETES MELITUS Tumiwa, Franky A.; Langi, Yuanita A.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.846

Abstract

Asbtract: Medical nutrition therapy is a vital component in managing diabetes which aims to prevent the progression of chronic complications of diabetes by modification in nutrient intake and lifestyle. Medical nutrition therapy for people with diabetes should be individualized, with consideration given to the individual?s usual food, eating habits, metabolism, physical activity, and co-morbid conditions. Medical nutrition therapy in special conditions such as acute illness, hypoglycemia, old age, pregnancy, lactation, hypertension, nephropathy, and dyslipidemia should be managed carefully. Key words: Medical nutrition therapy, diabetes, individual, complication     Abstrak: Terapi gizi medis merupakan komponen penting dalam pilar penatalaksanaan diabetes yang bertujuan untuk mencegah dan memperlambat laju perkembangan komplikasi kronis dari diabetes dengan memodifikasi asupan gizi dan gaya hidup. Pada setiap penyandang diabetes, terapi gizi medis bersifat individual sebab harus mempertimbangkan kebiasaan makan setempat, metabolisme, aktivitas fisik, dan adanya komorbid. Terapi gizi medis pada penyandang diabetes dengan keadaan khusus, seperti  penyakit akut, hipoglikemia, perawatan medis, lanjut usia, kehamilan, laktasi, hipertensi, nefropati dan dislipidemia, amat penting dilaksanakan sebab menentukan keberhasilan terapi. Kata kunci: Terapi gizi medis, diabetes, individu, komplikasi
PSEUDOTUMOR TUBERKULOSIS HATI DIAGNOSIS MELALUI BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS Lintong, Poppy M.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.852

Abstract

Abstract: Nowadays, the role of Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) in the evaluation of focal lesions in the liver, especially nodular hepatocellular carcinoma, is well developed. As one of the diagnostic tools, FNAB is very important in making a preoperative diagnosis to prevent unneeded hepatectomy. Although a CT scan or USG can detect a tubercular lesion in the abdo-minal cavity, this imaging is not always specific, and still needs microbiologic and histo-pathologic examinations for further confirmation. We reported a case of a 45-year-old female with a tumor in the right upper abdominal cavity. She had undergone a USG twice with two different results: the first one was a hepatoma, and the second one was a benign nodule of the liver. The AFP test was within normal limits (2.6 mg/ul). FNAB showed a tubercular granuloma consisting of epitheloid cell aggregations and Langhans datia cells, with a background of necrotic tissues, connective tissue fibrils, and normal hepatocytes. Localized tuberculosis as a clinical entity producing large nodules is exceedingly rare, even in endemic areas. These pseudotumors often resemble metastatic cancer, clinically and radiographically. By using FNAB we can detect liver tuberculosis that clinically manifests as a tumor. Key words: FNAB, liver tuberculosis, pseudotumor.     Abstrak: Saat ini peranan biopsi  aspirasi jarum halus  dalam        hal menilai kelainan-kelainan fo-kal pada hati sudah berkembang, terutama pada nodul karsinoma hepatoseluler. Biopsi aspirasi jarum halus pada hati  sebagai salah satu sarana diagnostik  sangat berguna untuk menegakkan diagnosis preoperatif sehingga dapat  menghindari tindakan hepatektomi yang tidak perlu. Meskipun pemeriksaan computerized tomography scan (CT-scan) dan ultrasonography (USG) pada hati dapat mendeteksi lesi tuberkulosis dalam rongga perut, namun  pencitraannya tidak selalu spesifik sehingga membutuhkan konfirmasi pemeriksaan mikrobiologi dan histopatologi. Dilaporkan kasus  seorang wanita berusia 45 tahun dengan tumor pada perut kanan atas. Telah dilakukan dua kali pemeriksaan USG: yang pertama hasilnya suatu hepatoma dan yang kedua suatu nodul jinak pada hati. Pemeriksaan alpha-feto protein (AFP) dalam batas normal (2,6 mg/ul). Kemudian dilakukan pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus dengan hasil menunjukkan granuloma tuberkulosis dari agregat sel-sel epiteloid yang tersusun dalam granuloma dan sel-sel datia Langhans dengan latar belakang fokus-fokus nekrosis, fibril jaringan ikat serta sel-sel hati normal. Tuberkulosis terlokalisir pada hati  yang secara klinik menimbulkan nodul besar, sangat jarang terjadi, sekalipun pada daerah endemik. Pseudotumor seperti ini sering menyerupai  metastatik kanker secara klinik dan radiologik. Melalui pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus dapat dikonfirmasi suatu tuberkulosis hati yang klinisnya memberi manifestasi seperti tumor. Kata kunci: biopsi  aspirasi jarum halus, tuberkulosis hati, pseudotumor.
SINDROM KARDIORENAL Paliliewu, Novita; Lefrandt, Reginald L.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.848

Abstract

Abstract: Cardiorenal syndrome can be generally defined as a pathophysiological disorder of the heart and kidneys, whereby acute or chronic dysfunction of one organ may induce acute or chronic dysfunction of the other ones. In the end stage renal disease, the prevalences of left ventricular hypertrophy and coronary heart diseases are high enough. On the other hand, patients with moderate congestive heart failure show low glomerular filtration rates. There is no consistent and effective strategy for the management of cardiorenal patients. Most approaches are empirical and include: recognizing the cardiorenal syndrome and anticipating the development of worsening renal function and/or diuretic resistance, optimizing heart failure therapy, evaluating renal structure and function, and optimizing diuretic dosaging and renal specific therapy. Investigational therapies such as vasopressin antagonist and adenosine antagonist are still being developed. Keywords: cardiorenal syndrome, organ dysfunction, therapy.   ABSTRAK: Sindrom kardiorenal secara umum dapat didefinisikan sebagai keadaan gangguan patofisiologi jantung dan ginjal, dimana terjadi disfungsi akut atau kronis salah satu organ yang mengakibatkan disfungsi akut atau kronis organ lainnya. Pada penyakit ginjal tahap akhir prevalensi hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit jantung koroner cukup tinggi. Demikian pula halnya dengan pasien-pasien gagal jantung sedang memiliki gangguan laju filtrasi glomerulus (LFG). Sampai saat ini belum terdapat strategi yang konsisten dan efektif  dalam penanganan pasien sindrom kardiorenal. Umumnya dilakukan pendekatan secara empirik yaitu: deteksi sindrom kardiorenal dan mengantisipasi timbulnya perburukan fungsi ginjal dan atau resistensi diuretik, optimalisasi pengobatan gagal jantung, mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, optimalisasi dosis diuretik serta terapi khusus untuk ginjal. Penggunaan antagonis vasopresin dan antagonis adenosin untuk sindrom kardiorenal masih sedang dalam tahap penelitian. Kata kunci: sindrom kardiorenal, disfungsi organ, pengobatan.
GRANULOMA PIOGENIK MULTIPEL Lawalata, Tracy O.H.; Tjahjadi, Aris A.; Oroh, Elly E. Ch.; Suling, Pieter L.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.851

Abstract

ABSTRACT: Pyogenic granuloma is a benign proliferating vascular tumor of the skin and mucous membrane that follows a minor injury or infection. This tumor occurs mostly in children or young adults and can be detected as a bright red solitary papule or nodule with a diameter of 5-10 mm that grows rapidly within 1-3 weeks. The papule or nodule is often covered by a subtle collaret of scales, brittle, and easily bleeding even with minor trauma. Methods of treatment are excision, electro surgery, cryosurgery, laser, or combinations thereof, and imiquimod cream. We reported a case of a 27-year-old male who had suffered from six reddish papules on the back of his left ear for six months. It began with one milliar tumor in size then there arose five other tumors around it, rapidly growing, which easily bled within several weeks. Skin lesions were multiple pedunculated erythematous papules, tender, and 0.2-0.5 cm in diameter. Histopathological features demonstrated a pyogenic granuloma. The treatment which performed a shave excision followed by electro surgery had a satisfactory outcome. Keywords: multiple pyogenic granuloma, shave excision.  ABSTRAK : Granuloma piogenik merupakan tumor vaskuler proliferatif jinak pada kulit dan membran mukosa yang sering mengikuti suatu trauma minor atau infeksi. Tumor ini lebih sering terjadi pada anak dan dewasa muda. Lesi berupa papul atau nodul soliter berwarna merah terang dengan ukuran 5-10 mm, tumbuh cepat dalam 1-3 minggu namun rapuh, seringkali dengan koleret skuama halus dan mudah berdarah dengan trauma ringan. Terapi dapat berupa bedah eksisi, bedah listrik, bedah beku, laser atau kombinasi diantaranya, dan krim imiquimod. Kami melaporkan satu kasus granuloma piogenik multipel dan penatalaksanaannya pada seorang laki-laki berusia 27 tahun dengan enam benjolan berwarna merah pada bagian belakang telinga kiri sejak enam bulan yang lalu. Awalnya hanya berupa satu benjolan sebesar kepala jarum pentul, kemudian setelah beberapa minggu timbul lima benjolan lain disekitarnya yang cepat membesar, serta mudah berdarah. Kelainan kulit berupa papula eritem, multipel, bertangkai, teraba kenyal,  dan berdiameter 0,2?0,5 cm. Gambaran histopatologik menunjukkan suatu granuloma piogenik. Penatalaksanaan yang dilakukan dengan shave excision diikuti bedah listrik memberikan hasil yang memuaskan. Kata kunci: granuloma piogenik multipel, shave excision.
KLONING MANFAAT VERSUS MASALAH Wangko, Sunny; Kristanto, Erwin
Jurnal Biomedik : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.847

Abstract

Abstract: In general, cloning is an asexual creation of a cell or organism which is genetically identical to its ancestor. Actually, cloning of unicellular and multicellular organisms has been going on in the natural world for thousands of years. Nowadays, in biotechnology, artificial cloning processed by using non-embryonic somatic cells is unbelievably well developed. In medical application, cloning is pointed to therapeutic, reproductive, and replacement usages. However, there are still many controversies, especially if this cloning is related to human beings, law, and ethics norms. Keywords: cloning, cell, organism.     Abstrak: Kloning adalah kreasi secara aseksual dari suatu sel atau organisme yang merupakan salinan genetik dari organisme pendahulu. Secara alamiah kloning telah ditemukan sejak beribu-ribu tahun yang lalu pada organisme unisel sampai ke yang multisel. Dewasa ini kemajuan bioteknologi dalam melakukan kloning artifisial dengan menggunakan sel non embriogenik telah berkembang pesat. Pemanfaatan kloning dalam aplikasi medik ditujukan untuk pengobatan, reproduksi, dan replacement. Walaupun demikian, dalam hal pemanfaatannya masih banyak ketidak sesuaian pendapat, terlebih lagi bila masalah kloning terkait langsung dengan nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan etik. Kata kunci: kloning, sel, organisme.

Page 1 of 1 | Total Record : 8


Filter by Year

2010 2010


Filter By Issues
All Issue Vol. 14 No. 2 (2022): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 3 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 2 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 1 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 3 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 2 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 1 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 3 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 2 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 1 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 3 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 2 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 1 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 3 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 2 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 3 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 1 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 3 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 7, No 3 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 2 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 1 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014 Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014 Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 2 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 2 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 1 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 3 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 2 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 1 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 3 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 1 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 3 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 2 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 1 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM More Issue